⚠️PERINGATAN PEMICU⚠️
Darah, pembunuhan, kata-kata eksplisit, benda tajam.
Cerita ini mengandung kata-kata dan aksi yang mungkin tidak disukai atau membuat sebagian pembaca tidak nyaman. Dimohon kebijakan pembaca saat membaca cerita ini.
Cerita ini adalah cerita fiksi. Nama tokoh, alur, dan latar tempat sepenuhnya fiksi dan tidak berdasarkan kejadian nyata.
---
"Guys! Tessa meninggal!"
Suara itu datang dari arah pintu kelas 8A. Yoga yang membawa berita kematian menunjukkan wajah kecapaian, mungkin karena dia habis berlari.
"Tessa? Maksud lo Tessa anak kelas kita? Tessa Sabrina?" tanya Feni.
"Ya, iyalah. Tessa siapa lagi?" balas Yoga.
Jawaban dari Yoga membuat seluruh kelas riuh. Anak-anak kelas lain yang lewat mendengar kabar itu dan menunjukkan wajah terkejut.
"Lo tau darimana?" tanya Johan.
"Genknya Tessa tadi ngasih tau ke guru yang jaga di depan gerbang sekolah sambil nangis-nangis. Kebetulan tadi gue lagi duduk-duduk disekitar situ dan ngedenger percakapan mereka sama Bu Nina. Abis itu, semua orang yang ada di situ ngedenger dan berita ini udah kesebar ke seluruh penjuru sekolah," jelas Yoga.
"Gila. Pagi-pagi udah ada kabar duka aja," kata Winda kepada teman-temannya yang berdiri dekat papan mading.
Tidak lama setelah berita itu, bel pelajaran pertama berbunyi. Beberapa murid kelas 8A masuk ke dalam kelas dan membicarakan tentang kematian Tessa.
"Meninggalnya kenapa?"
"Sedenger gue, dia dibunuh."
"HAH? SERIUS LO?"
Semua murid di kelas terdiam ketika Pak Erman, Nora, Sinta, dan Ika masuk ke dalam kelas. Murid-murid yang belum duduk di bangkunya langsung menuju bangkunya masing-masing.
Nora, Sinta, dan Ika duduk di bangku mereka. Mata Nora terlihat sembab, sedangkan Sinta dan Ika menunjukkan ekspresi sedih.
Pak Erman berdiri di depan kelas.
"Selamat pagi, anak-anak. Kita mendapat berita duka dari Tessa. Tessa sudah berpulang dan sebagai teman-temannya, kita akan berdoa semoga Tessa tenang di alam sana."
"Pak, kenapa Tessa meninggal?", tanya Arini.
Pak Erman terdiam. Saat itu, tangis Nora semakin pilu dan terdengar.
"Ih, Rin. Udah jangan nanya dulu!", kata Roni yang duduk di sebelahnya.
Pengeras suara di kelas 8A berbunyi, menandakan doa pagi akan dimulai. Doa pagi dilakukan seperti biasa. Yang berbeda hari ini adalah terdapat doa yang dikhususkan untuk mendiang Tessa diakhir bait doa.
Setelah doa pagi selesai, seorang guru memberikan pengumuman untuk menyumbang uang duka untuk Tessa dan keluarga. Kotak kertas di atas meja guru dioper secara bergilir dari murid ke murid untuk mengumpulkan uang duka.
"Kasian banget, ya, Tessa. Padahal kemarin gaada apa-apa, lho," kata Fina.
"Iya. Meninggalnya karena apa, ya?" balas Soni dengan pertanyaan.
Soni mengoper kotak kertas ke orang yang ada di belakangnya. Orang tersebut mengambil uang Rp2000 dan memasukannya ke dalam kotak.
"Suasana sekolah jadi beda karena ada berita tadi," kata David. "Suasananya jadi suram."
Luna hanya diam saja dan memberikan kotak itu kepada David yang ada di sebelahnya.
David memasukkan uang ke dalam kotak dan memberikannya pada orang yang ada di belakangnya.
"Luna, tadi gue denger Tessa di bunuh. Ga tau, sih, siapa yang bunuh."
"Oh, ya? Gue juga ga tau, sih. Itu kayaknya cuma berita yang ga terbukti kebenarannya."
Setelah kotak kertas tersebut sudah terisi, Pak Erman memberikan informasi selanjutnya mengenai kabar duka pagi ini.
"Bapak berencana untuk mengunjungi rumah Tessa sepulang sekolah. Jika kalian senggang, kita bisa mengunjungi rumah Tessa bersama-sama. Rumah Tessa tidak jauh dari sekolah, jadi kita bisa jalan bersama-sama."
Murid-murid kelas 8A langsung riuh. Dari keriuhan tersebut, mayoritas memilih untuk mengunjungi rumah Tessa.
"Luna, nanti kita jalan bareng, yuk!" ajak Lisa yang duduk di belakang Luna.
"Kayaknya gue ga bisa, deh. Sorry. Gue ada tes di tempat les gue hari ini," kata Luna.
"Yah! Ayo, dong! Ini, 'kan terakhir kita liat Tessa," kata Lisa dengan nada kecewa.
"Gue bener-bener ga bisa. Sorry, Lis. Tes di tempat les ga bisa diundur," kata Luna memastikan Lisa agar Lisa mengerti dan tidak mengajaknya lagi.
"Ah, yaudah kalo begitu," balas Lisa dengan ekspresi kecewa.
Pelajaran pun dimulai seperti biasa.
‐--------------‐--------------------------------------------------------
"Nora! Si Tessa meninggal kenapa?" tanya Yoga saat jam istirahat dimulai. Selain Yoga, anak kelas 8A, bahkan anak kelas lain, berkerumun di meja Nora.
"Tessa... dibunuh. Dia ditusuk di bagian perut..." Nora tidak melanjutkan perkataannya.
Murid-murid yang berkerumun langsung mengeluarkan suara yang riuh.
"Dimana dia pas kejadian itu?" tanya Krisna.
"Dia..." Nora berusaha menahan tangis. "Awalnya, dia ga pulang-pulang dari tempat les. Pas dicari sama orangtuanya..."
Nora tidak bisa menahan tangisnya. Ika dan Sinta menenagkan Nora.
"Guys, kalian mending balik aja ke kelas masing-masing. Sana pada istirahat," kata Ika.
Melihat keadaan Nora, kerumunan tadi membubarkan diri.
"Wah, gila. Tragis banget!" kata Lisa yang duduk di sebelah Luna.
"Kasian Tessa," balas Luna.
"Eh, tadi gue denger pas di toilet. Katanya, mayat Tessa ditemuin di tengah jalan deket tempat lesnya. Dan yang gue tau, tempat lesnya Tessa, tuh, ada di ruko yang baru dibangun, jadi masih sepi banget di sana. Pas di autopsi, Tessa meninggal pas sore. Mayatnya ditemukan pas malemnya pas orangtuanya cari," kata Lisa sambil mengambil chicken nugget dengan sendok.
"Masa di sana ga ada orang yang lewat?" tanya Luna.
"Ya, namanya bangunan baru, belom rame-rame banget," kata Lisa.
"Oh. Kalo sepi begitu biasanya rawan orang jahat," kata Luna.
------------------------------------------------------------------------
"Yang ingin berkunjung ke rumah Tessa, harap berkumpul di gerbang sekolah," kata Bu Nina sambil membereskan buku Bimbingan Konseling miliknya.
Murid-murid kelas 8A membereskan buku dan alat tulisnya dan bersiap untuk pergi menuju rumah Tessa.
"Luna, lo hati-hati di jalan, ya," kata Lisa.
"Iya, lo juga hati-hati di jalan," balas Luna, lalu berpisah dengan Lisa.
Luna berjalan melewati gerbang sekolah. Murid-murid kelas 8 banyak yang berkumpul.
(Solid banget, ya.)
Luna tidak memedulikan tatapan murid-murid yang melihatnya berjalan keluar dari gerbang sekolah. Luna berjalan menuju rumahnya.
---
Luna membuka pintu rumahnya. Sepi dan gelap. Luna menyalakan lampu ruang tamu dan dapur. Setelah itu, Luna menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua.
Sesampainya di kamar, Luna mengunci pintu dan mengganti pakaiannya. Dia mengecek ponselnya dan membuka Words, aplikasi media sosial.
Banyak teman-temannya yang memberikan ucapan bela sungkawa kepada Tessa. Ada yang membagikan foto para murid dan guru yang sedang berdoa, sampai foto Tessa yang ada di dalam peti mati.
Luna tersenyum melihat foto itu.
---
31 Agustus 20xx
"Ibu akan membacakan hasil latihan hari ini."
Semua siswa yang ada di kelas B siap mendengarkan nilai latihan mereka masing-masing. Hari ini, semua siswa mengerjakan latihan matematika di tempat les Smart Together yang baru dibuka di sebuah ruko yang belum lama dibangun. Tempat les ini merupakan cabang dari Smart Together yang ada di Jakarta dan dipercaya oleh banyak orang tua.
"Calista, 80."
Calista mengelus dadanya sambil menghela napas lega.
"Gloria, 70."
"Corina, 90."
"Tessa, 78."
"Pinkan, 75."
"Luna, 95."
Luna menghela napas lega. Hasil belajarnya tidak sia-sia. Dengan hasil latihan yang baik, Luna yakin dia dapat menghadapi ujian matematika dengan baik.
"Sekian hari ini, anak-anak. Dua hari lagi, kita akan memasuki materi baru. Selamat sore," kata Bu Renata, guru matematika, sambil membereskan buku-buku dan map di meja.
Setiap siswa membereskan buku-buku dan alat tulis mereka. Lalu, mereka memberi salam kepada bu Renata sambil keluar dari kelas.
Luna membuka ponselnya dan melihat notifikasi dari mamanya.
{Mama pulang jam 9 malam. Kamu pesan makanan saja ya. Hati-hati di rumah.}
Luna menghela napas.
(Padahal aku mau makan makanan Mama hari ini.)
Mama Luna merupakan orangtua tunggal. Orangtua Luna bercerai saat Luna berumur 8 tahun dan Luna tinggal bersama Mamanya karena memenangkan hak asuh anak. Setelah bercerai, Luna tidak pernah melihat Papanya lagi.
Luna duduk sebentar di kursi yang berada di samping meja resepsionis. Dia memeriksa ponselnya kembali dan menjawab pesan Mamanya.
(Oke. Mama hati-hati nanti pas pulang.)
"Hari ini gue dijemput bokap."
"Tumben banget bokap lo jemput."
"Lagi pulang cepet, katanya."
Luna melihat ke arah kanan asal sumber suara tersebut. Dia melihat Tessa dan Calista berbincang.
Tak lama kemudian, seorang pria tinggi dan memakai setelan kerja yang rapi. Luna merasa mengenal pria itu.
(Kayak pernah liat.)
"Papa!" sapa Tessa berjalan menuju pria yang dia sebut Papa. "Gue duluan, ya. Dadah, Cal."
"Bye, Tessa," kata Calista sambil melambaikan tangannya.
Luna terdiam melihat dua sosok itu pergi meninggalkan tempat les dan menaiki mobil. Tak lama mobil itu. Setelah mobil itu pergi, Luna keluar dari tempat les dan berjalan menuju rumah.
Sesampainya di rumah, Luna menyalakan lampu halaman depan, lampu ruang tamu, dan dapur. Setelah itu, dia memesan nasi ayam dengan sayur dan milkshake untuk makan malam melalui aplikasi pesan-antar makanan.
Dua puluh menit kemudian, makanan yang dipesan Luna telah sampai. Ia memindahkan makanan ke piring dan langsung melahapnya. Setelah menyantap makanannya, Luna pergi mandi.
Setelah membersihkan diri, Luna berbaring di atas tempat tidurnya, merasa lelah karena sudah berkegiatan seharian. Luna tertidur.
Jam 21:00, Luna terbangun dari tidurnya. Dia melihat ponselnya dan mendapati pesan dari Mamanya yang mengirimkan foto makanan. Pesan itu sampai ke ponselnya pukul 20:30.
(Apakah Mama pulang cepat?)
Luna mendengar suara bel pintu rumahnya. Dia berpikir bahwa itu Mamanya. Kemudian, Luna teringat sesuatu.
(Apa Mama ga bawa kunci rumah?)
Luna turun ke lantai bawah dan melihat seorang pria memakai kemeja putih dan celana bahan panjang berwarna hitam melalui jendela rumah.
(Siapa?)
Beberapa detik kemudian, seorang wanita berjalan ke arah rumahnya.
(Lah, itu Mama.)
Wanita tersebut berhenti di depan halaman rumah, terlihat membantu melihat pria di depan rumahnya.
Mama Luna terlihat berbicara dengan pria tersebut yang membuat pria di depan rumah membalikan tubuhnya.
(Teman Mama?)
Mama Luna terlihat tidak senang. Luna merasakan hal itu saat melihat raut wajah Mamanya.
Luna hanya memandang dua orang dewasa itu dari luar, tidak tahu harus melakukan apa.
Pria tersebut ikut bicara, mungkin menanggapi percakapan Mama. Tetapi, raut wajah Mama Luna tidak berubah, masih terlihat tidak senang.
Karena dia merasa Mamanya dalam masalah, Luna membuka pintu.
"Ada apa?"
Mama Luna dan pria tersebut menoleh ke arah Luna. Luna melihat wajah pria itu dan mengenalinya.
(Bukannya dia Papanya Tessa? Kok ada di sini?)
"Luna.." panggil pria itu.
Luna terkejut.
(Darimana dia tahu namaku?)
"Luna, masuk!" perintah Mama.
Luna takut melihat raut wajah Mamanya dan langsung menuruti perintahnya. Saat hendak menutup pintu, Luna mendengar perkataan Mamanya kepada pria itu.
"Ga nyangka kamu masih inget sama anak kandungmu setelah tinggal sama selingkuhanmu."
(Hah?)
"Luna seumuran dengan anak selingkuhanmu 'kan? Dasar ga punya hati. Ninggalin anak kandungmu dan merawat anak lain yang bahkan itu anak orang lain."
(Apa? Merawat anak lain?)
"Kamu yang selama ini ngelarang saya buat ketemu sama Luna! Kebetulan, tadi saya lihat Luna di tempat les yang sama kayak Tessa. Sudah lama saya tidak melihat Luna, makanya saya ingin berkunjung walau hanya sekali."
(...)
Luna menutup pintu.
(Apa? Pria itu... Papa?)
30 menit kemudian, Mama Luna membuka pintu dan menaruh plastik berisi makanan di atas meja makan. Luna yang duduk di meja makan sambil bermain game di ponselnya menoleh ke arah Mamanya. Wajah Mama terlihat kesal dan bercampur dengan kesedihan.
Luna ingin menanyakan sesuatu. Tapi, dia tidak berani.
"Mama ingin mandi dulu. Luna kalau mau makan, makanlah duluan."
"Oke."
Mama naik ke lantai atas. Luna hanya menatap punggungnya dari belakang.
(Jadi, perceraian yang waktu itu karena Papa selingkuh?)
Luna merasa tidak bertenaga. Dia tidak menyangka sebuah kebenaran terungkap malam itu.
1 September 20xx
Luna duduk di bangkunya. Dia mengantuk karena kurang tidur semalam karena mengingat perbincangan Mama dan Papa biologisnya tadi malam.
"Luna, ke kantin, yuk!" ajak Lisa.
"Ga dulu, Lis. Gue bawa bekal dari rumah. Jadi, bakal makan di kelas," jawab Luna.
"Yah! Yaudah, deh. Gue ke kantin dulu, ya. Nanti gue balik lagi," kata Lisa sambil berjalan ke luar kelas.
Kelas sangat sepi, hanya ada Luna dan dua orang temannya yang sedang melakukan urusannya. Luna membuka kotak bekalnya dan menyantap makanannya.
Saat menyantap makanannya, pintu kelas terbuka, membuat Luna menoleh ke arah pintu. Dia mendapati Tessa dan teman-temannya masuk ke dalam kelas.
Luna langsung teringat kejadian tadi malam. Tiba-tiba Luna merasa sedih.
"Gue mau ke toilet dulu, ya," kata Nora.
"Kenapa ga tadi aja ke toilet?" tanya Tessa.
"Baru sekarang kerasanya," kata Nora.
"Tessa, liat PR lo, dong! Gue belom ngerjain," kata Sinta dengan tampang memelas.
Tessa menghela napas. "Kerjain sendiri. Nanti ga bisa jawab soal ujian kalo nyontek PR mulu."
"Please, sekali ini aja terakhir. Gue ga ngerti soalnya," kata Sinta sambil memohon.
Tessa mengambil buku PR Matematika dari tasnya dan menyerahkannya kepada Sinta.
"Nih," kata Tessa singkat.
"Yey! Thanks!" seru Sinta. Dia membuka buku tulis PR Matematika Tessa, mengambil alat tulis, dan menyalin jawabannya di buku PRnya.
Ika membuka ponselnya dan bermain media sosial. "Lo tau berita terbaru aktris Y? Gila banget, ya?"
"Oh, itu. Emang ga tau diri," jawab Sinta sambil menyalin PR.
Tessa merasa bosan dengan obrolan teman-temannya. Dia melihat ruangan kelas dan matanya tertuju pada Luna yang sedang memakan bekal.
Tessa menghampiri Luna. Luna terlihat bingung Tessa menghampirinya dan duduk di depannya.
"Halo, Luna," sapa Tessa dengan senyum.
"Halo," balas Luna singkat.
"Kemarin nilai lo bagus banget di tempat les," puji Tessa.
"Thanks. Nilai lo juga bagus," Luna membalas pujian Tessa. Luna tahu ini hanya basa-basi karena Luna jarang sekali berbicara dengan Tessa. Tessa adalah salah satu anak terkenal di sekolah dan anak terkenal seperti Tessa jarang berbicara dengan anak-anak sepertinya.
Tessa mendekatkan dirinya pada Luna dan membuka mulutnya.
"Bokap lo itu bokap gue juga, ya?" tanya Tessa dengan suara sangat pelan.
Luna kaget mendengar perkataan itu.
"Lo pikir gue ga tau kemarin dia dateng ke rumah lo?"
Luna tidak bisa bergerak.
"Orangtua gue kemarin bertengkar karena bokap mau ke rumah lo. Nyokap udah marah-marah sambil nangis, tapi bokap tetep keras kepala."
(Apa urusan gue sama semua itu?)
"Inget, ya, nyokap lo itu udah dibuang. Lo juga dibuang. Bokap lebih milih nyokap gue dan gue daripada lo. Mulai sekarang, tolong tau diri."
Tessa beranjak dari kursi dan bergabung dengan teman-temannya.
(Apa tadi dia bilang? Dibuang? Tau diri?)
Tangan Luna yang memegang sendok bergetar hebat. Perasaan benci memasuki hati dan pikirannya.
(Mama ga salah apapun. Papa yang memilih buat pergi dan nyakitin Mama. Kenapa kita yang disuruh buat tau diri?)
Luna teringat dengan raut wajah Mamanya ketika sudah memasuki rumah kemarin malam.
(Harusnya yang tau diri itu lo, Tessa.)
------------------------------------------------------------------------
Tessa berjalan pulang dari tempat les, melewati gedung-gedung kosong yang masih dalam masa pembangunan. Waktu menunjukkan pukul 17:30 sore.
(Apa pesan ojek online, ya? Males banget pulang jalan kaki.)
Tiba-tiba, dari arah gedung kosong, muncul seseorang berpakaian serba hitam yang memakai masker dan sarung tangan di hadapan Tessa.
(Siapa?)
Tessa merasa takut karena hanya ada dia dan orang berpakaian serba hitam di sana. Tessa ketakutan yang membuat tubuhnya tidak bisa digerakan.
Orang tersebut mengambil sesuatu dari kantung bajunya yang terlihat longgar saat dikenakan oleh orang itu. Tessa melihat pisau dapur keluar dari kantung baju orang itu.
Punggung Tessa terasa dingin. Dia merasakan darahnya yang seakan-akan surut. Tessa berbalik arah dan berlari. Orang misterius tersebut ikut berlari mengejar Tessa.
(Gue harus lari!! Lari lebih cepet lagi!!)
Karena ketakutan, Tessa tersandung saat berlari, membuat dia jatuh ke aspal yang baru saja diperbaiki.
Tessa berusaha berdiri sekuat tenaga. Tetapi, orang misterius tersebut sudah memegangi kerah baju Tessa dari belakang. Tessa menepis tangan orang misterius tersebut.
"LEPASIN GUE!"
Tessa bangkit dan hendak lanjut berlari. Tetapi, tangan orang itu memegang tangan Tessa. Orang misterius itu langsung menusuk Tessa di bagian perut dari belakang.
Tessa berteriak, merasa kesakitan.
Orang misterius tersebut menekan pisau yang tertancap di perut Tessa. Pisau tersebut masuk lebih dalam ke dalam perut.
Tessa mengeluarkan darah dari mulut dan kehilangan kekuatan kakinya. Tessa terduduk di aspal, diikuti oleh orang misterius itu.
Tessa tanpa sadar bersender pada orang misterius itu karena dia sudah merasa kesakitan. Saat itu, orang misterius itu membuka maskernya. Dengan kasar, orang misterius itu mengarahkan wajah Tessa kesamping agar Tessa dapat melihat wajahnya.
Tessa terkejut dengan wajah orang itu.
"Lu.. na.."
Luna menatap Tessa dengan dingin.
"Tessa, lo harus tau kalo nyokap lo itu wanita jalang yang merebut ayah dari seorang anak. Dan lo adalah anak dari wanita jalang itu yang ga tau diri."
Tessa terengah-engah dan mulai kehilangan kesadaran.
"Burn in hell, bitch."
Tessa tidak sadarkan diri. Luna mengambil kantung plastik hitam besar yang sudah dia lipat kecil-kecil dari tas ransel hitamnya. Dia memasukkan Tessa ke dalam kantung plastik itu dengan susah payah dan mengikat kantung plastik itu. Darah Tessa terlihat seperti air yang mulai kering di atas aspal. Luna mengambil botol berisi air bercampur alkohol dari tasnya dan menumpahkannya di atas darah Tessa.
Luna membawa mayat Tessa ke dalam bangunan kosong dan menunggu malam untuk membuangnya.
------------------------------------------------------------------------
Luna keluar dari persembunyiannya sambil membawa mayat Tessa yang ada di dalam plastik. Dia berusaha sekuat tenaga membawa Tessa yang sudah tidak bernyawa.
Luna berencana membakar mayat Tessa di belakang bangunan kosong yang berada di ujung, jauh dari tempat pembunuhan. Tiba-tiba, Luna mendapat sebuah ide.
Luna berbalik arah dan berjalan menuju ruko baru di mana tempat lesnya berada. Suasana ruko tersebut sepi, tidak ada orang satu pun. Di tengah jalan, dua blok dari tempat lesnya, Luna membuka ikatan kantung plastik besarnya dan mengeluarkan Tessa dengan sembarangan. Luna cepat-cepat memasukkan plastik itu ke dalam tasnya dan kabur ke arah bangunan-bangunan kosong.
Luna membuka semua pakaiannya sampai hanya tersisa baju dalamnya saja di belakang bangunan kosong. Dia membuang baju, celana, dan sarung tangannya ke dalam tempat sampah dan membakarnya dengan korek api yang dia bawa. Luna mengambil baju ganti dari dalam tasnya dan pulang ke rumah.
---
Sesampainya di rumah, Luna disambut oleh Mamanya yang khawatir.
"Darimana saja kamu?! Kenapa baru pulang sekarang?!" tanya Mama Luna dengan nada khawatir. "Mama meneleponmu, tapi kamu ga angkat-angkat."
"Tadi dari rumah teman, Ma. Rumahnya ga jauh dari sini, kok. Tadi lagi kerja kelompok. Susah banget kerja kelompok kali ini," jawab Luna beralasan.
Mama Luna menghela napas.
"Harusnya kamu kasih kabar ke Mama biar Mama ga khawatir," kata Mama Luna.
"Iya, Ma. Maaf. Lain kali ga begitu lagi."
Luna melepas sepatunya dan langsung membawanya ke kamar mandi. Dia langsung mencuci sepatu dan tasnya, lalu mandi setelahnya.
"Tumben cuci sepatu dan tas malam-malam begini? Emangnya kotor banget?" tanya Mama Luna setelah Luna menjemur tas dan sepatunya di tempat menjemur pakaian di belakang rumah.
"Tadi ketumpahan teh manis di rumah temen," kata Luna beralasan.
Selesai menjemur, Luna membersihkan dan membuang botol yang tadi dia pakai untuk mengisi air bercampur alkohol.
Semuanya sudah bersih. Jejak sudah hilang. Kebencian terbalaskan.
Comments
Post a Comment